Seperti dilansir Associated Press, Senin (16/12), para pejabat China di Xinjiang mulai melakukan konsolidasi beberapa hari selepas surat kabar The New York Times menurunkan laporan soal korespondensi internal para pejabat setempat sampai Presiden China, Xi Jinping. Hasil laporan investigasi itu memaparkan dokumen yang berisi tentang panduan menjalankan kamp penahanan khusus Uighur dan penggunaan perangkat teknologi untuk memburu seseorang.
Menurut sumber Associated Press di Xinjiang, pemerintah setempat sudah menerapkan pengetatan kendali informasi di wilayah itu sejak Oktober lalu. Menurut mereka, sejumlah pejabat daerah setempat juga memusnahkan sejumlah dokumen yang berisi data sensitif tentang biodata warga Uighur yang ditahan dengan cara dibakar.
Sumber itu menyatakan kini data-data tersebut dikumpulkan di basis data yang disimpan di ruangan khusus yang tidak tersambung dengan internet.
"Mereka menjadi semakin awas dengan perpindahan informasi," kata sumber itu.Selain itu, sejumlah sumber menyatakan pemerintah daerah Urumqi juga memerintahkan para dosen dan pegawai negeri setempat menghapus data yang tersimpan di komputer, ponsel dan penyimpanan awan (cloud storage). Mereka juga diminta menghapus penggunaan media sosial untuk pekerjaan.
Seorang warga Uighur yang pernah ditahan di kamp tersebut, dan kini berada di luar negeri, mengatakan sejumlah aparat keamanan China meneror istrinya supaya bisa menunjukkan surat pembebasan dirinya. Sang istri beralasan jika dia tidak bisa memperlihatkan dokumen itu, maka dia bakal dijebloskan ke dalam kamp tersebut.
Seorang ahli bahasa Uighur, Abduweli Ayup, yang saat ini mengasingkan diri di luar negeri menyatakan aparat China menahan orang tua, kerabat hingga ipar istrinya di Xinjiang. Penyebabnya adalah mereka dituduh sebagai salah satu pihak yang membocorkan dokumen tersebut.
Seorang perempuan Uighur yang tinggal di Belanda, Asiye Abdulaheb, mengaku kepada surat kabar de Volkskrant bahwa dia yang membocorkan dokumen itu. Dia mengatakan dokumen tersebut dipajang di sebuah media sosial pada Juni lalu.
Asiye mengatakan sejak itu dia menerima pesan berisi ancaman kematian dari agen mata-mata China. Bahkan, dia melaporkan badan intelijen China mencoba merekrut sang suami guna memata-matainya.
Dokumen itu berisi panduan supaya pemerintah Urumqi melakukan kendali sosial, yaitu menangkap etnis Uighur secara acak meski mereka tidak melanggar aturan atau berbuat kejahatan. Mereka nantinya dikirim ke kamp untuk dicuci otak supaya mengadopsi nilai-nilai Komunisme ketimbang Islam, dan mengubah bahasa mereka.
Ilustrasi etnis Uighur di Xinjiang, China. (Greg Baker / AFP)
|
Selain itu, dokumen tersebut memaparkan cara pemerintah China melakukan rekayasa sosial menggunakan data dan kecerdasan buatan. Dengan memata-matai seluruh etnis Uighur menggunakan kamera pengawas, data itu akan diolah menggunakan komputer dalam waktu sepekan yang menghasilkan daftar sejumlah orang yang wajib ditahan.
Akan tetapi, kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia etnis Uighur ini terus diberitakan oleh Amerika Serikat. Diduga hal ini menjadi salah satu cara AS untuk menyudutkan China karena kedua negara masih terlibat perang dagang.
Pekan lalu, Dewan Perwakilan AS menyetujui Undang-Undang Kebijakan HAM Uighur. Mereka bertujuan menekan China terkait penahanan massal sekitar 1 juta etnis Uighur di Xinjiang.
China menyatakan beleid itu sama saja mencampuri urusan dalam negeri. Kini, Beijing tengah mempertimbangkan menolak memberikan visa kepada pejabat AS sebagai balasan.
Pemerintah Provinsi Uighur sampai saat ini belum menyangkal apakah dokumen yang bocor itu asli atau palsu. Ketua Partai Komunis China di Urumqi, Xu Hairong, menyatakan kebocoran dokumen itu adalah pencemaran nama baik dan memutarbalikkan fakta. (ayp)
No comments:
Post a Comment