Thursday, April 26, 2018

'Biblical' blood bloom bleeds the waters 'tomato soup' red in Cocoa Beach

CLOSE

Intense, bright red algae was spotted in a Cocoa Beach canal near Minuteman Causeway, prompting concerns from neighbors. Wochit

Story update: (1:35 p.m., April 26, 2018)

COCOA BEACH — The creature turning a few Indian River Lagoon canals here tomato-soup red, which officials had suspected was an animal, turns out to be a plant.

Today, officials with the St. Johns River Water Management District said tests at University of Florida identified the algae as Fibrocapsa japonica.

The same species bloomed in August 2011 in the mangroves east of Tarpon Bay on Florida's Gulf Coast.

The current bloom in Cocoa Beach canals is not “the” toxic red tide species of algae, Karenia brevis.

But the same algae has caused major fish kills around the world, according to the Florida Fish and Wildlife Conservation Commission. And outside of Florida, it has been known to produce brevetoxins, the same toxins taht red tide emits, which can kill marine life and cause itchy throats and respiratory symptoms in humans.

St. Johns officials said of the current bloom that there is “no certainty of toxicity.”

Today, a canal near Sunset Road resembled tomato soup through the mangroves.

District officials said the UF tests showed Fibrocapsa japonica as predominant species causing the redness in the water, but that other species of marine organisms may be contributing as well.

Original story: 

COCOA BEACH — A one-celled critter that uses tiny vibrating hairs to dash to and fro turned canals here in the past few days a deep blood-red reminiscent of something out of the Old Testament. 

"It's almost Biblical," said Duane DeFreese, executive director of the Indian River Lagoon Council. "It's different. It's not known to be toxic. It's probably feeding on the brown tide (algae)."

Dozens of catfish and other species floated motionless in the crimson water, dead, and some bearing red streaks that resembled blood across their white underbellies.

While tests are pending, the most likely suspect is a protozoan called Myrionecta rubra, officials said. Tiny hairs called cilia propel this wily critter through the water. It employs the same hairs to ensnare algae it stores for later, borrowing the algae's photosynthetic structure to make food.

It is not "red tide," but can kill fish by depleting oxygen in the water. Experts aren't sure how long it might persist.

"It's the only thing we've come across that gets that color," said Charles Jacoby, supervising environmental scientist for the St. Johns River Water Management District. 

Tests results for a more definitive determination are expected in a few days.

The suspected species has turned patches of coastal waters in Brevard red in recent years, including small patches of the lagoon in 2014 and 2017.

In January 2014, a satellite captured an image of a bloom of the microscopic organisms off the southeastern coast of Brazil, stretching some 500 miles. 

By Wednesday afternoon, the blood-red color was already dissipating, settling into a murky brown. Brevard County officials who monitor oxygen levels in area waterways collected a sample of the water and sent it to the University of Florida for further testing to make a final determination of what caused the coloration. 

“We are aware of it we have inspected it and we have contacted the county to see what they believe is the problem...it’s in an isolated area,” Melissa Byron, the marketing director for Cocoa Beach, said earlier when reached by FLORIDA TODAY. 

Canals along the causeway started turning blood red two days ago, city officials said. Residents began noticing the color change shortly after heavy rains that passed through two days ago. 

More: Not again: Dreaded fish kill begins in Brevard

More: 6 months after Irma, sewage issue lingers; we may see another major fish kill

CLOSE

Shore birds and gulls eating dead and dying flounder floating in Cocoa Beach. Video by Malcolm Denemark, FLORIDA TODAY Posted Aug. 27, 2017

This "blood bloom" may be feeding off the brown tide algae that has been a scourge on Brevard County for months.

"It's so sad," Stephanie Reneberg, said Wednesday, rolling up on her bicycle on the Minutemen Causeway sidewalk, between Aucila Road and Sunset Drive.

"I'm mad and sad about it," Reneberg said, straddling her bike, gazing at several white, belly-up catfish floating among the mangroves in a crimson, lazy canal. A short distance away, at Reneberg’s condominium near the city golf course off Minutemen, the water looks like chocolate, she said.

Closer, sunlight glistened off the crimson-colored surface, which also reflected cotton-like clouds.                                                                                                         

Gerry Mollard, who has lived in Cocoa Beach for over 40 years, said he walked outside Tuesday and was immediately struck by how red the water was. 


"It had an appearance of almost like something got dumped into it," Mollard said, adding that he spotted fish and manatees swimming in the water normally. 

Those manatees are long gone, said Reneberg, who posted pictures of the foul red canals on a local Facebook page.

Her memories are still fresh from March 2016, when dead fish floated up in Cocoa Beach canals during the worst fish kill on record in the Indian River Lagoon. Fish died from Titusville to Palm Bay when a massive brown algae bloom crashed, and bacteria hogged oxygen from the water as they decomposed the dead algae.

The lagoon is poised for a potential repeat ofthat fish kill, experts warn. 

“All the conditions are still ripe,” said DeFreese, of the Lagoon Council, who noted that they are reminiscent of 2016.

Last season's storms, such as Hurricane Irma, helped set the stage for fish kills, via large volumes of runoff pollution, he added, fueling this latest creature from the red lagoon.

"It's a strange little critter," he said. 

Contact Waymer at 321-242-3663 or jwaymer@floridatoday.com or on Twitter: @JWayEnviro
Contact Gallop at 321-242-3642 or jdgallop@floridatoday.com or on Twitter: @JDGallop

Tyler Vazquez contributed to this report

Read or Share this story: https://on.flatoday.com/2FfkBcn

Let's block ads! (Why?)

Baca Di sini Bro https://www.floridatoday.com/story/news/2018/04/25/red-bloom-hits-waters-near-minuteman-causeway-cocoa-beach/549727002/

Wednesday, April 25, 2018

MyAmerica Surabaya Gelar Diskusi dan Nobar "A Plastic Ocean"

Dalam rangka memperingati Hari Bumi, MyAmerica Konsul Jenderal Amerika Serikat di Surabaya menggelar pemutaran film berjudul "A Plastic Ocean", film dokumenter yang bercerita mengenai sampah plastik yang sangat mengotori lautan. Mengundang beberapa aktivis lingkungan dan mahasiswa, nonton bareng (nobar) dan diskusi masalah sampah plastik ini diharapkan dapat semakin menumbuhkan kesadaran akan bahaya sampah plastik bagi kehidupan.

Persoalan sampah plastik sudah menjadi masalah serius semua negara di dunia, karena sampah plastik sulit dikelola dan butuh ratusan tahun untuk hancur dengan sendirinya di alam. Masyarakat diajak untuk terlibat memikirkan dan mencari solusi mengatasi bahaya sampah plastik, yang volumenya sudah mencapai milyaran ton di dunia.

Koordinator Komunitas Nol Sampah Surabaya, Hermawan Some mengatakan, berbagai teknologi yang ditemukan sampai saat ini belum mampu menyelesaikan persoalan sampah plastik yang menimbulkan banyak dampak negatif, antara lain di bidang kesehatan, air bersih, polusi, serta kerusakan alam di darat maupun di laut.

Hermawan mengungkapkan, sampah plastik yang berukuran mikro menimbulkan kesulitan tersendiri dalam mengatasi bahayanya di alam, di antaranya temuan mikroplastik di dalam tubuh ikan maupun biota laut lainnya. Salah satu solusi yang paling mungkin dilakukan adalah mengurangi penggunaan plastik.

“Ukuran plastiknya sudah jadi mikroplastik, untuk menjaring pun susah, ketika kita menjaring mungkin malah terangkut juga plankton, atau fitoplankton, atau zooplankton yang justru makanan bagi ikan. Ini yang agak susah. Belum ada teknologi bagaimana memisahkan plankton dengan mikroplastik tadi. Intinya bagaimana jangan sampai sampah plastik ini banyak masuk ke laut. Untuk itu kan ada cara mengurangi, mengubah perilaku, mengurangi. Kemudian kalau ada sampahnya bagaimana mendorong daur ulang," Hermawan Some, Koordinator Komunitas Nol Sampah Surabaya.

Hermawan Some dari Komunitas Nol Sampah Surabaya memberi paparan mengenai kondisi dan bahaya sampah plastik (Foto: VOA-Petrus Riski).
Hermawan Some dari Komunitas Nol Sampah Surabaya memberi paparan mengenai kondisi dan bahaya sampah plastik (Foto: VOA-Petrus Riski).

"Untuk bisa didaur ulang berarti pertama harus ada standarisasi (plastik), kemudian yang ke-dua adalah bagaimana orang memilah sampah. Setelah ada sampah plastik yang tidak bisa dimanfaatkan, bagaimana mendorong daur ulang menjadi tanggung jawab produsen terhadap kemasannya,” imbuhnya.

Hermawan Some menambahkan, payung hukum berupa Peraturan Pemerintah beserta peraturan di tingkat bawah harus segera dibuat, untuk memastikan ada upaya serius pemerintah mengajak masyarakat mengurangi pemakaian plastik dalam kehidupan sehari-hari.

“Undang-Undang nomor 18 Tahun 2018 tegas menyebutkan bahwa Indonesia harus membuat PP, Peraturan Pemerintah tentang pengurangan sampah. Itu yang harus pertama kali dilakukan. Dari situ mungkin mulai ada turunan (peraturan) tentang bagaimana pembatasan kantong plastik, bagaimana tanggung jawab produsen terhadap kemasan dan sebagainya. Itu yang harus dilakukan, karena itu yang paling efektif. Jadi kalau kemudian yang dilakukan adalah penanganan, ini akan butuh biaya, akan butuh sumber daya, akan butuh waktu yang lebih panjang,” lanjutnya.

Dosen Teknik Kimia Universitas Surabaya, Lieke Riadi menegaskan, pengurangan pemakaian plastik menjadi langkah yang lebih baik dibandingkan dengan upaya penanganan sampah plastik yang telah ada. Selain itu perlu kebijakan dan aturan hukum dari pemerintah yang tegas, untuk menyadarkan dan mengedukasi masyarakat mengenai bahaya sampah plastik.

“Kalau kita bisa mengurangi, itu jauh lebih baik. Kalau kita tidak bisa mengurangi, maka ya kita harus bisa melakukan pemilahan, lalu dari pemilahan itu maka dia di- recycle. Nah itu cara satu-satunya menurut saya. Karena kalau kita mengurangi, maka harus ada kebijakan pemerintah. Kebijakan saja yang tidak menggigit sampai ke bawah, tanpa disertai edukasi, tanpa disertai sesuatu yang betul-betul penyadaran atau penegakan terhadap kebijakan itu, tidak akan membuahkan hasil,” jelas Lieke Riadi, Dosen Teknik Kimia Universitas Surabaya

Sampah plastik tidak hanya menjadi masalah serius negara berkembang seperti Indonesia, tapi juga negara maju seperti Amerika Serikat. Menurut Konsul Jenderal Amerika Serikat di Surabaya, Heather Variava, perlu kerja sama antar negara untuk mengatasi masalah sampah plastik yang telah mencemari lautan luas.

Nonton bareng film dokumenter mengenai sampah plastik di lautan ini menjadi sarana edukasi sekaligus ajakan bagi masyarakat untuk menyelamatkan lingkungan melalui pola hidup bebas sampah plastik.

“Masalah sampah plastik adalah tantangan untuk kita semua, baik negara maju seperti Amerika Serikat, maupun negara Indonesia dan semua negara lain juga. Dan kita harus bekerjasama untuk mengatasi masalah ini. Kami di My America Surabaya, nonton film "A Plastic Ocean" yang menjelaskan masalah ini, dan kami bisa lihat bagaimana plastik di laut ada dampak buruk untuk lingkungan. Semoga kita semua bisa kerja sama untuk menghadapi masalah ini,” kata Heather Variava, Konsul Jenderal Amerika Serikat di Surabaya. [pr/ab]

Let's block ads! (Why?)

Baca Di sini Bro https://www.voaindonesia.com/a/peringati-hari-bumi-my-america-surabaya-gelar-diskusi-dan-nonton-bareng-film-dokumenter-bahaya-sampah-plastik-di-lautan/4364019.html

Tuesday, April 24, 2018

13 Foto Terkenal Ini Ternyata Palsu Semua!

Dream - Bukan sesuatu yang aneh jika dunia maya ini kini semakin dipenuhi dengan berita palsu alias hoaks. Masyarakat semakin mudah terkecoh saat pengunggah menambahkan foto-foto atau video dramatis sebagai 'bukti'.

Masyarakat yang kurang waspada tentu akan langsung percaya dengan berita tersebut tanpa melakukan penelusuran soal kebenarannya.

Dari jutaan foto yang tersebar di dunia maya, berikut adalah 13 foto populer yang ternyata palsu yang dilansir dari BrightSide.me oleh Dream.

Foto-foto ini sering dipakai netizen untuk menyebarkan berita palsu di dunia maya. Mereka yang tidak jeli akan termakan berita palsu itu dan malah ikut menyebarkannya.

Hutan Ungu di Skotlandia

 Foto Terkenal Ini Ternyata Palsu

Foto hutan ungu di Isle of Skye, Skotlandia terlihat sangat menakjubkan sehingga banyak orang ingin mengunjunginya. Tetapi setelah mengunjunginya, banyak yang berakhir kecewa. Masalahnya, foto hutan ungu itu ternyata hasil editan Photoshop. Bahkan, foto aslinya sebenarnya berada di dekat Sungai Shotover di Selandia Baru dan kemudian diedit di Photoshop.

Pulau Bulan Sabit dan Bintang

 Foto Terkenal Ini Ternyata Palsu

Pulau Molokini - yang berbentuk bulan sabit dan bintang - terletak di antara Maui dan Kahoolawe, Hawaii selalu menjadi bagian promosi agen perjalanan wisawa di Amerika Serikat. Padahal, Pulau Molokini sebenarnya hanya berbentuk bulan sabit. Sementara pulau berbentuk bintang hanya editan yang ditambahkan menggunakan perangkat lunak komputer.

Setetes Air Laut Berisi Ratusan Plankton

 Foto Terkenal Ini Ternyata Palsu

Foto setetes air laut yang diperbesar 25 kali dan berisi ratusan plankton telah menjadi viral selama beberapa tahun terakhir.

Banyak orang yang tercengang sekaligus takjub ketika mengetahui bahwa di dalam satu tetes air laut terdapat begitu banyak kehidupan. Padahal, dalam kenyataannya, kamu harus mengisi kolam renang sampai penuh dan kemudian menyaringnya dengan jaring khusus untuk mengumpulkan plankton dalam jumlah besar.

Setelah disaring, plankton-plankton ini dimasukkan ke dalam gelas. Jadi, kumpulan begitu banyak plankton itu tidak mungkin didapatkan hanya dalam satu tetes air.

Wanita Duduk di Depan Counter Seperti Katak

 Foto Terkenal Ini Ternyata Palsu

Siapapun yang melihat foto yang disebelah kiri akan tercengang karena wanita itu duduk seperti katak saat menunggu dilayani di depan counter. Sebenarnya foto tersebut terlihat jelas hanyalah sebuah editan. Coba perhatikan bentuk kaki kirinya yang seperti menempel begitu saja. Foto di sebelah kanan adalah foto yang sebenarnya.

Gunung Es di Bawah Air

 Foto Terkenal Ini Ternyata Palsu

Foto terkenal yang banyak digunakan sebagai latar belakang desktop komputer ini sebenarnya merupakan kombinasi dari 4 gambar terpisah. Menurut pengedit gambar, Ralph Clevenger, foto awan itu diambil di Santa Barbara, California. Bagian atas gunung es diambil di Antartika. Sebmentara bagian bawah di Alaska.

Selain itu, foto tersebut adalah foto gunung es biasa yang oleh Ralph dibalik sehingga tampak berada di bawah air. Berkat pencahayaan yang tepat di bagian bawah foto, gunung es itu terlihat sangat mengesankan.

Hiu Berenang di Jalan Saat Terjadi Banjir

 Foto Terkenal Ini Ternyata Palsu

Foto menakutkan ini sempat membuat gempar masyarakat Houston, Texas saat terjadi Badai Irma pada September 2017 lalu. Namun foto ini sebenarnya merupakan editan dengan menggabungkan dua foto. Foto hiu sebenarnya adalah yang ada di atas. Meski begitu, foto yang asli itu kok tetap terlihat menyeramkan ya?

Foto Dua Anak Kecil Korban Gempa Nepal

 Foto Terkenal Ini Ternyata Palsu

Foto mengharukan seorang bocah laki-laki yang memeluk gadis kecil ini sempat viral di media sosial. Banyak yang mengira ini adalah foto korban gempa dahsyat di Nepal pada 2015 lalu.

Padahal, menurut fotografernya, Na-Son Nguyen, foto tersebut dia ambil delapan tahun sebelumnya di Can Ty, sebuah desa terpencil di Provinsi Ha Giang, Vietnam Utara.

Na-Son terkejut ternyata foto itu telah beredar luas di antara pengguna Facebook Vietnam. Banyak di antara mereka bahkan menyisipkan kisah baru tentang foto tersebut.

Foto Pasir Ketika Tersambar Petir

 Foto Terkenal Ini Ternyata Palsu

Awalnya banyak yang mengira struktur aneh ini adalah fulgurite, yaitu tabung alam atau kerak kaca yang terbentuk karena adanya fusi pasir silika (kuarsa) atau batu yang tersambar petir.

Tapi fulgurite hanya bisa terbentuk jika petir menyambar bagian dalam pasir atau tanah, bukan di permukaannya. Struktur mirip fulgurite ini sebenarnya hanyalah kayu mati yang dilapisi pasir basah. Ini adalah salah satu karya seni yang dibuat oleh Sandcastle Matt yang iseng memposting fotonya di Flickr.

Sapi Menghangatkan Diri di Kap Mobil

 Foto Terkenal Ini Ternyata Palsu

Foto seekor sapi yang bertengger di kap mobil ini pertama kali muncul di Internet pada awal tahun 2013. Pada awalnya, foto tersebut tidak menarik banyak perhatian.

Namun pada 18 Oktober 2013, Surrey Roads Policing Unit mempublikasikan foto ini di Twitter dengan caption: “ Ingat ketika hari semakin dingin, hewan pun tertarik untuk menghangatkan diri di mobil..."

Postingan tersebut langsung menjadi viral di Internet. Padahal foto tersebut adalah hasil editan. Jika sapi benar-benar naik, kap mobil pasti langsung penyok karena beban sapi sebesar itu bisa mencapai setengah ton.

Kucing Raksasa

 Foto Terkenal Ini Ternyata Palsu

Foto ini mulai menyebar ke seluruh Internet pada tahun 2003. Judulnya mengatakan bahwa Snowball memiliki berat 39,5 kilogram dan berasal dari sebuah pembangkit listrik tenaga nuklir.

Sebenarnya, namanya adalah Jumper dan dia hanya kucing biasa. Pemiliknya, Cordell Hauglie membuat lelucon dengan memperbesar kucing di Photoshop dan kemudian menunjukkan gambar itu kepada teman-temannya. Dia tidak tahu aksi isengnya itu justru membuat Jumper menjadi selebriti dunia maya.

Pose Photobomb Steven Seagal Di Belakang Presiden Rusia

 Foto Terkenal Ini Ternyata Palsu

Selama kunjungannya ke sebuah sekolah seni bela diri di Rusia, aktor Steven Seagal berfoto bersama dengan Vladimir Putin dan tokoh-tokoh penting lainnya. Segera setelah foto itu diunggah di Internet, foto palsu serupa muncul di mana aktor itu terlihat melakukan photobomb terhadap Presiden Rusia tersebut. Banyak orang percaya bahwa foto itu asli, tetapi Seagal membantah dengan mengatakan dia tidak pernah melakukan photobomb terhadap sang presiden.

Lukisan Scream di Kantor Perdana Menteri Inggris

 Foto Terkenal Ini Ternyata Palsu

Pada bulan September 2016, foto Perdana Menteri Kerajaan Inggris, Theresa May, dan 27 anggota menteri Kabinet muncul di Internet. Foto itu menjadi viral karena ada lukisa The Scream karya Edvard Munch tergantung di dinding belakang. Tapi foto itu ternyata palsu. Karena di kantor PM Inggris tersebut tidak pernah menyimpan lukisan menyeramkan itu.

Sisi Lain Jupiter

 Foto Terkenal Ini Ternyata Palsu

Ada kisah menarik di balik foto ini. Banyak orang yang sebenarnya meragukan keaslian foto sebelah kiri dan mereka yakin foto itu diedit. Mereka bahkan menggunakan foto di sebelah kanan sebagai bukti.

Padahal foto sebelah kanan adalah gambar nyata dari sisi lain planet terbesar di Tata Surya itu. Foto itu diambil oleh pesawat angkasa luar Cassini saat kembali ke Saturnus pada akhir 2000.  Justru foto yang dijadika bukti yang di sebelah kanan adalah palsu.

Bukti palsu itu dibuat dengan menempelkan foto asli yang sudah diedit pada irisan sebuah bola.

(Sumber: Brigh Side)

Let's block ads! (Why?)

Baca Di sini Bro https://www.dream.co.id/unik/13-foto-terkenal-ini-ternyata-palsu-semua-1804244.html

Wednesday, April 18, 2018

Blue Planet: Plankton species named after Sir David Attenborough's BBC series

[unable to retrieve full-text content]

  1. Blue Planet: Plankton species named after Sir David Attenborough's BBC series  The Independent
  2. Full coverage
Baca Di sini Bro https://www.independent.co.uk/arts-entertainment/tv/blue-planet-david-attenborough-plankton-species-name-bbc-series-ucl-a8310676.html

David Attenborough says it's a “great compliment” as species of plankton is named after Blue Planet

It is thought to be the first time a species has been named in dedication to a television show

Programme Name: Blue Planet II - TX: n/a - Episode: n/a (No. n/a) - Picture Shows:  Sir David Attenborough - (C) - - Photographer: -

Sir David Attenborough has described it as a “great compliment” that a species of plankton has been named in honour of Blue Planet.

Advertisement

It is thought to be the first time a species has been named after a television programme.

The plankton is called Syracosphaera azureaplaneta – the latter being Latin for Blue Planet (the ‘azure’ and ‘planet’ give it away). It is seven times thinner than the width of a human hair.

Speaking at University College London – where enlarged images of the plankton were on display – Attenborough commented: “I think they’re marvellous. I think they’re stunning,” before leaning in to an image and joking: “I’m not sure about the likeness”.

He added: “If you said that plankton, the phytoplankton, the green oxygen-producing plankton in the oceans is more important to our atmosphere than the whole of the rainforest, which I think is true, people would be astonished.

“They are an essential element in the whole cycle of oxygen production and carbon dioxide and all the rest of it, and you mess about with this sort of thing and the echoes and the reverberations and the consequences extend throughout the atmosphere.”

Meanwhile executive producer of Blue Planet II James Honeyborne said: “Phytoplankton may be tiny but they are the basis of all life in the ocean – feeding everything from baby fish to great whales – and they help keep our seas, and indeed our whole planet healthy.

Advertisement

“It’s a great honour for everyone in our wider Blue Planet II team: our filmmakers, camera operators, associated scientists and conservationists, explorers and support teams, to be associated with such an impactful form of life.”

Let's block ads! (Why?)

Baca Di sini Bro http://www.radiotimes.com/news/tv/2018-04-18/david-attenborough-says-its-a-great-compliment-as-species-of-plankton-is-named-after-blue-planet/

Blue Planet: Plankton named after David Attenborough series

[unable to retrieve full-text content]

  1. Blue Planet: Plankton named after David Attenborough series  BBC News
  2. Full coverage
Baca Di sini Bro http://www.bbc.co.uk/news/av/science-environment-43805216/blue-planet-plankton-named-after-david-attenborough-series

Tuesday, April 17, 2018

Plankton named after BBC Blue Planet series

A type of plankton described as part of "the beating heart" of the oceans has been named after the BBC's Blue Planet series.

The tiny plant-like organism is regarded as a key element of the marine ecosystem.

Scientists at University College London (UCL) bestowed the honour on Sir David Attenborough and the documentary team.

It's believed to be the first time a species has been named after a television programme.

A single-celled algae, the plankton was collected in the South Atlantic but is found throughout the world's oceans.

It will now be officially known as Syracosphaera azureaplaneta, the latter translating from the Latin as 'blue planet'.

During a visit to UCL to receive the honour, Sir David said it was "a great compliment" and he was delighted that it would help raise awareness of the importance of plankton to the oceans.

"If you said that plankton, the phytoplankton, the green oxygen-producing plankton in the oceans is more important to our atmosphere than the whole of the rainforest, which I think is true, people would be astonished.

"They are an essential element in the whole cycle of oxygen production and carbon dioxide and all the rest of it, and you mess about with this sort of thing and the echoes and the reverberations and the consequences extend throughout the atmosphere."

The Blue Planet plankton is only about 10 microns across - the diameter of a typical human hair is about seven times greater.

It only lives for a few days but in that brief time creates shapes of incredible intricacy and beauty.

Looking at microscope images of the plankton, Sir David joked: "I'm not sure about the likeness but it's lovely… they're stunning, they're beautiful."

About a dozen different species have been named after the naturalist and presenter himself - including a rare tropical butterfly, a flightless Indonesian weevil and an armoured prehistoric fish whose fossil was found in Western Australia.

Others have been named in honour of celebrities - a horse fly after the singer Beyonce, a lemur for comedian John Cleese and a tree frog after Prince Charles.

Brazilian scientists named a bee after a catchphrase from a TV show.

But the Blue Planet plankton is thought to be the first example of a species given its name out of respect for a documentary series.

James Honeybourne, executive producer of Blue Planet 2, said: "Phytoplankton may be tiny but they are the basis of all life in the ocean - feeding everything from baby fish to great whales - and they help keep our seas, and indeed our whole planet healthy.

"It's a great honour for everyone in our wider Blue Planet II team: our filmmakers, camera operators, associated scientists and conservationists, explorers and support teams, to be associated with such an impactful form of life."

Prof Paul Bown of UCL said plankton played a vital role in the ocean, supporting the lives of much better known creatures.

"In terms of the link to the Blue Planet series, we felt they were the unseen stars of the series - hidden in plain view because of their minuscule size - but representing the beating heart of the oceans, providing food and pumping carbon from the shallow ocean to the deep-sea," he said.

He also said that because they create a hard covering "they form a constant rain of carbonate to the seafloor and form oceanic deep-sea ooze".

That allows scientists to study an "archive" of information locked in layers of rock on the sea floor.

"We therefore have an amazingly complete fossil record stretching back 220 million years to the Triassic," Prof Bown said, which allows scientists to study major upheavals in the past such as extinction events.

As he leant towards an image of the Blue Planet plankton, Sir David said admiringly: "Why that's not made by a modern jeweller I have no idea…"

Follow David on Twitter.

Let's block ads! (Why?)

Baca Di sini Bro http://www.bbc.com/news/science-environment-43796939

Ilmuwan: Triliunan Virus Jatuh dari Langit Setiap Hari

Pernahkah Anda penasaran darimana virus berasal? Para peneliti di Spanyol kini mengetahui di mana virus-virus tersebut berasal.

Sebenarnya, para ilmuwan telah lama menduga adanya aliran virus yang mengelilingi bumi. Tepatnya, aliran virus ini berada di atas sistem cuaca bumi tapi di bawah alur perjalanan maskapai pesawat. Sayangnya, hanya sedikit orang yang mempelajari bidang ini.

Inilah mengapa hanya jumlah virus yang diketahui oleh tim Spanyol mengejutkan banyak pihak.

(Baca juga: Bahaya Duduk Terlalu Lama: Menjadi Bodoh dan Risiko Alzheimer)

Temuan para peneliti Spanyol, setiap hari, setidaknya 800 juta virus mengalir ke setiap meter persegi planet ini. Sebagian besar virus menyebar ke udara melalui semprotan air laut, sedangkan sebagian kecil sampai pada manusia dalam badai debu. 

"Tanpa terhalang oleh gesekan dengan permukaan Bumi, Anda bisa melakukan perjalanan jarak jauh dan antar-benua dengan mudah," ujar Curtis Suttle, ahli virus di University of British Columbia, Kanada dikutip dari New York Times, Jumat (13/04/2018).

"(Untuk virus), bukan hal luar biasa menemukannya tersapu dari Afrika hingga ke Amerika Utara," lanjutnya.

Penelitian Dr Suttle dan koleganya ini merupakan yang pertama dalam menghitung jumlah virus yang jatuh ke Bumi. Hanya saja, penelitian yang dipublikasikan dalam International Society of Microrobial Ecology Journal ini tidak dirancang untuk menghitung virus tertentu tapi jumlah keseluruhan yang disebut "virosphere".

Umumnya, diasumsikan bahwa virus yang berasal dari bumi terbang ke atas. Tapi beberapa peneliti berteori bahwa virus mungkin sebenarnya berasal dari atmosfer.

Virus dan mangsanya punya peran besar dalam ekosistem dunia. Banyak penelitian yang ditujukkan untuk memfaktorkan proses virus ke dalam pemahaman kita tentang bagaimana bumi bekerja.

"Jika Anda bisa menimbang semua materi yang hidup di lautan, 95 persennya adalah hal yang tidak bisa Anda lihat, dan mereka bertanggung jawab untuk menyediakan setengah jumlah oksigen di planet ini," kata Suttle.

Dalam percobaan di laboratorium, Suttle mencoba memfilter virus dari air laut dan memisahkan mangsanya yaitu bakteri.

Ketika hal ini dilakukan, plankton di air mulai berhenti tumbuh. Alasannya adalah virus menginfeksi salah satu spesies mikroba, mereka membebaskan nutrisi di dalamnya seperti nitrogen. Ini kemudian memberi makan spesies bakteri lain.

(Baca juga: 5 Penyakit yang Bisa Dideteksi dari Gigi dan Mulut)

Cara ini sama dengan seekor rusa yang dibunuh oleh serigala. Sisa tubuh rusa menjadi makanan bagi gagak dan spesies lainnnya.

Dalam kasus virus dan mikroba, plankton tumbuh dari nutrisi yang dibebaskan. Ketika plankton tumbuh, mereka mengambil karbon dioksida dan menciptakan oksigen yang penting bagi kehidupan di bumi.

Penelitian ini juga memperkirakan bahwa virus di lautan menyebabkan triliunan infeksi setiap detiknya. Hal ini menghancurkan sekitar 20 persen dari semua sel bakteri di laut tiap harinya.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Ilmuwan: Triliunan Virus Jatuh dari Langit Setiap Hari".

(Resa Eka Ayu Sartika/Kompas.com)

Let's block ads! (Why?)

Baca Di sini Bro http://nationalgeographic.co.id/berita/2018/04/ilmuwan-triliunan-virus-jatuh-dari-langit-setiap-hari

Monday, April 16, 2018

A mathematical model to explain the paradox of plankton

plankton
Credit: CC0 Public Domain

A pair of researchers, one with The Simons Centre for the Study of Living Machines in India, the other with the University of Illinois in the U.S., has built a model to explain a paradox of plankton. In their paper published in the journal Physical Review Letters, Akshit Goyal and Sergei Maslov describe their model and how well they believe it portrays actual bacterial communities.

As the note, for many years, biologists have wondered how it is that communities of bacteria can be so diverse and yet so stable. In most such communities, many of the populations should grow exponentially, which would throw a off-balance—but this does not happen. Instead, the community remains stable. This phenomenon has come to be known as the of plankton. One of the leading theories to explain the paradox is based on two main ideas—one is that some of the bacteria consume the waste matter of another . The other is that potential new members of a community can only survive by filling a niche unoccupied by others, or by better at filling that niche. In this new effort, the researchers created a to simulate this theory.

To create the model, the researchers started with some basic "rules" for their theoretical community. Each member only ever consumes one type of resource, and consuming it causes the production of exactly two new resources. The pair also assumed that any new members could only survive if there was an open niche, or if they were better at exploiting a resource than a current member.

In using the model to create a computer simulation, the researchers found that their simple rules led to a virtual community that, like real-world bacterial communities, was both diverse and stable, and in fact became increasingly stable as the organisms became more diverse. They noted that in the early stages of community development, sometimes avalanches of die-offs occurred, during which a new, more efficient species got a foothold, causing existing members of a species to die off, which resulted in a die-off of those species that fed on its waste, and so on. But as time passed and a community grew more stable, avalanches became less common. The researchers also noted that their explains why two communities under ideal conditions can develop so differently from one another—it all depends on the history of new membership.

Explore further:Camponotini ant species have their own distinct microbiomes

More information: Akshit Goyal et al. Diversity, Stability, and Reproducibility in Stochastically Assembled Microbial Ecosystems, Physical Review Letters (2018). DOI: 10.1103/PhysRevLett.120.158102 , On Arxiv: https://arxiv.org/abs/1711.00755

ABSTRACT
Microbial ecosystems are remarkably diverse, stable, and usually consist of a mixture of core and peripheral species. Here we propose a conceptual model exhibiting all these emergent properties in quantitative agreement with real ecosystem data, specifically species abundance and prevalence distributions. Resource competition and metabolic commensalism drive the stochastic ecosystem assembly in our model. We demonstrate that even when supplied with just one resource, ecosystems can exhibit high diversity, increasing stability, and partial reproducibility between samples.

Let's block ads! (Why?)

Baca Di sini Bro https://phys.org/news/2018-04-mathematical-paradox-plankton.html

Ilmuwan: Triliunan Virus Jatuh dari Langit Setiap Hari

KOMPAS.com - Pernahkah Anda penasaran darimana virus berasal? Para peneliti di Spanyol kini mengetahui di mana virus-virus tersebut berasal.

Sebenarnya, para ilmuwan telah lama menduga adanya aliran virus yang mengelilingi bumi. Tepatnya, aliran virus ini berada di atas sistem cuaca bumi tapi di bawah alur perjalanan maskapai pesawat.

Sayangnya, hanya sedikit orang yang mempelajari bidang ini. Inilah mengapa hanya jumlah virus yang diketahui oleh tim Spanyo mengejutkan banyak pihak.

Temuan para peneliti Spanyol, setiap hari, setidaknya 800 juta virus mengalir ke setiap meter persegi planet ini. Sebagian besar virus menyebar ke udara melalui semprotan air laut, sedangkan sebagian kecil sampai pada manusia dalam badai debu.

Baca juga: Lampu UV Ini Bisa Cegah Penyebaran Virus Flu di Ruang Publik

"Tanpa terhalang oleh gesekan dengan permukaan Bumi, Anda bisa melakukan perjalanan jarak jauh dan antar-benua dengan mudah," ujar Curtis Suttle, ahli virus di University of British Columbia, Kanada dikutip dari New York Times, Jumat (13/04/2018).

"(Untuk virus), bukan hal luar biasa menemukannya tersapu dari Afrika hingga ke Amerika Utara," lanjutnya.

Penelitian Dr Suttle dan koleganya ini merupakan yang pertama dalam menghitung jumlah virus yang jatuh ke Bumi. Hanya saja, penelitian yang dipublikasikan dalam International Society of Microrobial Ecology Journal ini tidak dirancang untuk menghitung virus tertentu tapi jumlah keseluruhan yang disebut "virosphere".

Umumnya, diasumsikan bahwa virus yang berasal dari bumi terbang ke atas. Tapi beberapa peneliti berteori bahwa virus mungkin sebenarnya berasal dari atmosfer.

Virus dan Oksigen

Virus dan mangsanya punya peran besar dalam ekosistem dunia. Banyak penelitian yang ditujukkan untuk memfaktorkan proses virus ke dalam pemahaman kita tentang bagaimana bumi bekerja.

"Jika Anda bisa menimbang semua materi yang hidup di lautan, 95 persennya adalah hal yang tidak bisa Anda lihat, dan mereka bertanggung jawab untuk menyediakan setengah jumlah oksigen di planet ini," kata Suttle.

Dalam percobaan di laboratorium, Suttle mencoba memfilter virus dari air laut dan memisahkan mangsanya yaitu bakteri.

Baca juga: Virus Flu Tingkatkan Risiko Serangan Jantung, Vaksin Bisa Jadi Solusi

Ketika hal ini dilakukan, plankton di air mulai berhentitumbuh. Alasannya adalah virus menginfeksi salah satu spesies mikroba, mereka membebaskan nutrisi di dalamnya seperti nitrogen.

Ini kemudian memberi makan spesies bakteri lain.

Cara ini sama dengan seekor rusa yang dibunuh oleh serigala. Sisa tubuh rusa menjadi makanan bagi gagak dan spesies lainnnya.

Dalam kasus virus dan mikroba, plankton tumbuh dari nutrisi yang dibebaskan. Ketika plankton tumbuh, mereka mengambil karbon dioksida dan menciptakan oksigen yang penting bagi kehidupan di bumi.

Penelitian ini juga memperkitakan bahwa virus di lautan menyebabkan triliunan infeksi setiap detiknya. Hal ini menghancurkan sekitar 20 persen dari semua sel bakteri di laut tiap harinya.


Let's block ads! (Why?)

Baca Di sini Bro https://sains.kompas.com/read/2018/04/16/190700323/ilmuwan--triliunan-virus-jatuh-dari-langit-setiap-hari

Sunday, April 15, 2018

12 outfit fashion Tyramona sukses memukau pengunjung FEMME & CBFW

Terkini.id, Makassar – Berbagai produk fashion dari Tyramona sukses memikat para pengunjung pada sesi fashion show FEMME dan Celebes Beauty Fashion Week (CBFW) 2018 di Four Points by Sheraton.

Pa’ Tangke Lumu Situru atau yang biasa disingkat Pa’ Lumu, merupakan produk fashion Tyramona yang paling sukses mengundang decak kagum para pengunjung.

Pa’ Tangke Lumu Situru dipamerkan bersama 12 outfit koleksi brand Tyramona  dari atas panggung Catwalk. Tyramona sukses menghadirkan produk fashion dengan nuansa lokal khas Sulawesi Selatan terutama Tanah Toraja.

Decy Ramona, yang merupakan desainer dari brand tersebut mengungkapkan, tema ini memiliki makna keterikatan keluarga yang sangat kuat. “Lumut (Pa’ Lum) itu kan memperkuat,” ungkap Decy saat ditemui terkini.id di booth A42 lokasi pameran fashion FEMME 2018.

Melihat dari koleksi yang ditampilkan, warna-warna yang ringan namun indah cukup mendominasi, seperti ungu, abu-abu dan juga biru laut.

“Kalau kita masuk kedalam laut, kan ada plankton-plankton, dan memiliki bermacam-macam warna, kalau lumut yang diluar atau di hutan kan hijau, sementara dilaut itu bermacam-macam,” ungkap Decy.

Khusus untuk konsep Pa’ Lumu sendiri, penampilan di FEMME 2018 merupakan yang kedua, setelah sebelumnya konsep ini pertama kali ditampilkan pada ajang Internasional Fashion Week 2018 di Dubai.

Namun Decy menegaskan bahwa ada perbedaan Pa’ Lumu yang di tampilkan di Dubai dengan yang di Makassar sekarang, hal itu dikarenakan ada penyesuaian, “di Dubai mungkin sedikit terbuka, kalau di Makassar agak lebih tertutup,” ucap Decy.

Sebelumnya dibulan September 2017 lalu, Tyramona juga sukses memperkenalkan koleksi baru dengan motif Barre Allo (The Sunrise) di negeri paman sam, Amerika Serikat.

Di booth A42 milik Tyramona, disediakan berbagai motif hasil karyanya, tentunya dengan ciri khas Sulawesi Selatan seperti Barre Allo, Pa’ Tedong, Bantimurung, Anoa dan juga Juku’.

Jadi untuk para pecinta Fashion, utamanya yang mencintai budaya Sulawesi Selatan segera berkunjung ke Booth A42 di lokasi pameran Fashion FEMME dan CBFW di Four Points by Sheraton, karena ada diskon juga hingga 50 persen. Jadi buruan, besok sudah hari terakhir, jadi jangan sampai kehabisan.

Let's block ads! (Why?)

Baca Di sini Bro https://makassar.terkini.id/pa-lumu-toraja-tyramona-sihir-pengunjung-femme-dan-cbfw-2018/

Saturday, April 14, 2018

NCBS researcher has a go at the paradox of the plankton

Microbe groups found in the soil, the gut, the tongue and many other places show many behavioural properties that are not clearly understood such as the reason for their diversity and stability. All microbial populations are not exactly alike, there are ‘core’ species which are always present in different samples and some ‘peripheral’ species which are seen only in some samples. A study published recently in the journal Physical Review Letters attempts to explain these features using a simple mathematical model.

There are many puzzles about the behaviour of microbes such as bacteria and archaea (which don’t have a membrane-bound nucleus). For instance, a naturally occurring microbial ecosystem seen in soils, wastewater or even the human gut consists of hundreds or even thousands of species coexisting stably within a small, microscopic area. Given that the food sources are relatively few, and that the microbes tend to grow in number exponentially, how is it that they do not destroy each other in their competition for survival? How does the ecosystem maintain its diversity of microbiota? This is known as the paradox of the plankton. This and the related questions are addressed in this model. Here, apart from existing sources of nutrition, secretions given off by one species of bacteria form the nutrition for other species of bacteria.

Akshit Goyal, a PhD student at the National Centre for Biological Sciences, Bengaluru, is the first author of the paper. He refers to the fact that there are a small number of species that are ‘core’ and many that were ‘peripheral’. While there are large numbers of bacteria of the peripheral and core species, there were few showing an intermediate degree of prevalence. “Hardly any species falls in between,” he adds. When the prevalence of species is plotted as a graph, it therefore gives rise to a U-shaped distribution. “Many microbial ecosystems show the same [U-shaped] pattern,” he says.

Food supply model

When microbes use resource molecules as food, they usually cannot convert them completely to energy — there’s always some waste which form the by-products. “These by-products can sometimes be used as a food source by another species,” says Goyal. Thus the waste given out by a core species becomes the food for a peripheral species. This can lead to increase in diversity. Goyal has done this work in collaboration with Sergei Maslow of University of Illinois, Urbana-Champaign, in the U.S.

The key finding of the study is regarding the existence of core and peripheral species and that such a simple model of the underlying process can explain this. Further the authors talk about the displacement of one species by another under conditions and when they share the propensity to consume the same resource, such a displacement is termed extinction.

Mukund Thattai, cell biologist from NCBS who was not involved in this research says, “A nice feature of this idea is that things which can be measured in a snapshot, for example, human tongue microbiome diversity, could potentially be explained by an ongoing evolutionary process.” Referring to other work on this problem, he adds, “Of course, this is only one of several theories that have been put forward to address the diversity question... The key to discriminating between these ideas would be to not rely on a snapshot, but to actually watch the diversity of a microbiome change over time,” says Prof. Thattai.

For example, the authors of this paper predict a certain rate at which large numbers of species would go extinct. “Such things are, given current technologies, measurable in principle and would go a long way to clarifying how diversity really arises in nature [in this context],” he adds.

Let's block ads! (Why?)

Baca Di sini Bro http://www.thehindu.com/sci-tech/science/ncbs-researcher-has-a-go-at-the-paradox-of-the-plankton/article23540203.ece

NCBS researcher has a go at the paradox of the plankton

Microbe groups found in the soil, the gut, the tongue and many other places show many behavioural properties that are not clearly understood such as the reason for their diversity and stability. All microbial populations are not exactly alike, there are ‘core’ species which are always present in different samples and some ‘peripheral’ species which are seen only in some samples. A study published recently in the journal Physical Review Letters attempts to explain these features using a simple mathematical model.

There are many puzzles about the behaviour of microbes such as bacteria and archaea (which don’t have a membrane-bound nucleus). For instance, a naturally occurring microbial ecosystem seen in soils, wastewater or even the human gut consists of hundreds or even thousands of species coexisting stably within a small, microscopic area. Given that the food sources are relatively few, and that the microbes tend to grow in number exponentially, how is it that they do not destroy each other in their competition for survival? How does the ecosystem maintain its diversity of microbiota? This is known as the paradox of the plankton. This and the related questions are addressed in this model. Here, apart from existing sources of nutrition, secretions given off by one species of bacteria form the nutrition for other species of bacteria.

Akshit Goyal, a PhD student at the National Centre for Biological Sciences, Bengaluru, is the first author of the paper. He refers to the fact that there are a small number of species that are ‘core’ and many that were ‘peripheral’. While there are large numbers of bacteria of the peripheral and core species, there were few showing an intermediate degree of prevalence. “Hardly any species falls in between,” he adds. When the prevalence of species is plotted as a graph, it therefore gives rise to a U-shaped distribution. “Many microbial ecosystems show the same [U-shaped] pattern,” he says.

Food supply model

When microbes use resource molecules as food, they usually cannot convert them completely to energy — there’s always some waste which form the by-products. “These by-products can sometimes be used as a food source by another species,” says Goyal. Thus the waste given out by a core species becomes the food for a peripheral species. This can lead to increase in diversity. Goyal has done this work in collaboration with Sergei Maslow of University of Illinois, Urbana-Champaign, in the U.S.

The key finding of the study is regarding the existence of core and peripheral species and that such a simple model of the underlying process can explain this. Further the authors talk about the displacement of one species by another under conditions and when they share the propensity to consume the same resource, such a displacement is termed extinction.

Mukund Thattai, cell biologist from NCBS who was not involved in this research says, “A nice feature of this idea is that things which can be measured in a snapshot, for example, human tongue microbiome diversity, could potentially be explained by an ongoing evolutionary process.” Referring to other work on this problem, he adds, “Of course, this is only one of several theories that have been put forward to address the diversity question... The key to discriminating between these ideas would be to not rely on a snapshot, but to actually watch the diversity of a microbiome change over time,” says Prof. Thattai.

For example, the authors of this paper predict a certain rate at which large numbers of species would go extinct. “Such things are, given current technologies, measurable in principle and would go a long way to clarifying how diversity really arises in nature [in this context],” he adds.

Let's block ads! (Why?)

Baca Di sini Bro http://www.thehindu.com/sci-tech/science/ncbs-researcher-has-a-go-at-the-paradox-of-the-plankton/article23540203.ece

Wednesday, April 11, 2018

What's Next: Swarms of AI-Powered Robotic Microscopes to Study Plankton

In recent predictions of technologies that could change the world in five years, IBM claimed robotic microscopes powered by artificial intelligence could transform researchers’ ability to monitor ocean health – particularly the tiny plankton that form the base of the marine food chain, produce two-thirds of the planet’s oxygen and take up carbon from the air.

“Small autonomous AI microscopes, networked in the cloud and deployed around the world, will continually monitor in real time the health of one of Earth’s most important and threatened resources: water,” Arvind Krishna, head of IBM Research, wrote on a company website.

But Peter Franks, vice chair of the Scripps Institution of Oceanography at the University of California, San Diego, and a professor of biological oceanography, doesn’t buy it, at least without major advances in plankton-literate AI. Technologies developed over the past decade have brought his field to the point that “gathering images is not very difficult,” he said. However, “doing anything with the images is fairly challenging.” In other words, the revolution is on the cusp, but even IBM might have to wait.

Plankton populations have fallen by around 40 percent since 1950, according to research published in the journal Nature in 2010, possibly because of rising sea-surface temperatures. Local changes in plankton populations can produce a cascading effect, causing toxic algae to grow and coral – home to a quarter of all marine fish species – to die. That, and their key role in global carbon and oxygen cycles, is why a better real-time understanding of how plankton numbers, distribution and species are changing could help scientists studying the ocean’s wide-ranging environmental challenges.

Plankton collection first took a great leap forward in 1948, with the initial deployment of an ingenious mechanical contraption towed by commercial vessels, the Continuous Plankton Recorder. It consisted of a box containing silk-mesh gauze on a roll, like a paper-towel dispenser. A propeller turned the roll, releasing the gauze, which collected plankton before returning into a container of preservative. Knowing the route and speed of the ship would tell researchers where the plankton was collected.

Securing plankton from a net tow for microscopic study. (Matt Wilson/Jay Clark, NOAANMFS AFSC)

A more recent advance was the use of satellite imagery, but this isn’t detailed enough to identify species. Cameras, such as those on the Scripps research pier in La Jolla, California, have also been collecting color images of plankton for about a decade. Holographic techniques and new lenses, which allow distant image-gathering, have come online more recently. In the past couple of years, autonomous underwater vehicles have joined the mission, collecting images and mimicking the way plankton swim to test mathematical theories about how they congregate and form red tides.

The latest technology from IBM researchers in San Jose, California, is a system that collects 3D images using swimming autonomous microscopes. To track plankton behavior in their environment, twin LED lights form shadows of plankton swimming by, which are captured on an imaging chip from a cellphone to create an image called a shadowgraph. Inventor Tom Zimmerman and theoretical physicist Simone Bianco hope to embed the devices with artificial intelligence that could determine plankton health from their size, shape and behavior. They imagine the findings could help ecologists understand how plankton respond to environmental disturbances, such as temperature spikes, changes in salinity, agricultural runoff, oil spills and toxic algal blooms.

“Using plankton as a reporter for the health of the environment allows you to understand if something is going on that you don’t have a specific test for,” Bianco said. Instead of sampling the water, he said, “if you see the behavior or composition of the sample is changing, it raises a flag.”

Zimmerman said he envisions hundreds of thousands of the inexpensive devices all around the world. “The AI piece lets you analyze local data,” he said.

For Franks – the type of scientist that this technology would be aimed at helping – the AI part will be the challenge.

“It’s a great idea, but it’s going to be harder to do than they’re suggesting,” Franks said. “You have to know what you’re looking at, what the size or shape [of the plankton in the image] depends on and whether you’re looking at different species. That kind of knowledge is super-hard to get.”

That’s because AI is only as good as the information you give it. Software that analyzes the content of images needs to be trained with existing data sets, which are currently lacking.

“Giving the AI annotated data sets, where the objects are ID’d so the AI has something to work from, that’s the biggest bottleneck in this type of research,” Franks said. “Matching up the images, the taxonomy and the molecular biology is going to be a major task over the next couple of decades.”

Franks estimates that currently there are 10–20 scientific groups collecting images of plankton, but much of it isn’t identified at the species level. For example, the largest set of images of phytoplankton, residing in the lab of Heidi Sosik at Woods Hole Oceanographic Institution in Massachusetts, contains millions of images of several thousand species, but they are divided into just 103 more general genus-level categories.

“What we really need is a global center to archive the images and a global center of taxonomists to identify and label these images so researchers can go through the data sets that are generated and do science with them. Right now that’s not happening,” Franks said.

Once that bottleneck gets cleared, though, the Mariana Trench is the limit.

“It’s going to utterly revolutionize plankton ecology and biological oceanography,” Franks said. “The kinds of questions you can ask with dense-in-time and dense-in-space data are really amazing and will lead to a better understanding of red tides, of ecosystem changes driven by climate change and how ecosystems respond to physical and biological forcing.”

Let's block ads! (Why?)

Baca Di sini Bro https://www.newsdeeply.com/oceans/articles/2018/04/11/whats-next-swarms-of-ai-powered-robotic-microscopes-to-study-plankton

Saturday, April 7, 2018

Ahli Ungkap Bahaya Tumpahan Minyak buat Dua Mamalia Laut Dilindungi

Laporan Wartawan Tribunkaltim.co, Nalendro Priambodo

TRIBUNKALTIM.CO, BALIKPAPAN – Ahli sekaligus Co-Founder Yayasan Rare Aquatic Spesies of Indonesia (RASI) Daniele Kreb, khawatir tumpahan minyak di Teluk Balikpapan hendak merusak biota laut dan rantai masakan di sana.

Terlebih perairan jadi habitat dua mamalia laut yang dilindungi, yaitu Dugong (Dugong Dugon) dan lumba-lumba atau Pesut Irrawaddy (Orcaella brevirostris).

Kekhawatiran, Daniele makin menguat, selang sejumlah hari usai tragedi teluk Balikpapan, ya bersama sejumlah ahli RASI, langsung mengecek sejauh mana tumpahan minyak mentah menyebar di Teluk Balikpapan.

Hasilnya cukup mencengangkan, tumpahan minyak, yang salah satunya dipicu pasang surut air laut mencemari Padang lamun di periairan Kariangau.

Lamun, ialah tanaman yang hidup dilaut dan tak mempunyai klorofil. Lamun adalah kompetitor buat rumput laut, dan relatif bekembang di daerah dekat pantai. Lamun inilah yang menjadi masakan Dugong.

“Kita telah cek positif terpapar minyak. berarti minyak tak hanya dipermukaan, tetapi menerobos kolom air,” ujar Daniele dihubungi Sabtu (7/4/2018).

 

Membaca pun:

Masuk Ingat Arya Permana Si Bocah Obesitas Berbobot 193 Kilogram? Begini Kondisinya Kini

Statistik Mentereng, CR7 Telah Cetak Gol di 45 Kota di Eropa

Tidak Sudah ada Duit Kembalian, Driver Ojol Ini Ikhlas Tidak Dibayar, Mengapa Berujung Putus Kemitraan?

Jalani Prosesi Wisuda, Polah 2 Wisudawan Ini Malah Mengundang Tawa!

Jika telah begini, lanjut ahli yang telah puluhan tahun meneliti spesies akuitik langka di teluk Balikpapan ini, mamalia laut yang sering dipanggil warga lokal dengan sebutan sapi laut ini, bakal cari lamun di kandang yang lebih jauh, seperti di semacam pulau dekat Jenebora, Penajam Paser Utara, yang diperkirakan boleh terpapar pun.

“Aku rasakan mereka tak makan, (lamun yang tercemar minyak), mereka mencari makan di kandang lain, mereka hendak melewati kandang kotor,”katanya.

Lanjut dia, diperlukan riset dan penanganan cepet untuk mengatasi kerusakan Padang lamun ini, guna menyelamatkan Dugong yang jumlahnya tinggal belasan ekor saja.

“Dogong ini reproduksinya lambat, 7 tahun sekali baru melahirkan, itupun hanya satu ekor (sekali melahirkan,”katanya.

Sementara , matinya Pesut Irrawaddy (Orcaella brevirostris), sepekan kemudian di pantai Balikpapan, yang diduga terpapar tumpahan minyak mentah, boleh jadi pelajaran.

Mamalia laut endemik teluk Balikpapan yang oleh IUCN (The International Union for Conservation of Nature) dikategorikan endangered species ini, populasinya tertinggal 60-70 ekor.

Berkaca dari observasi lamgsung cemaran minyak ke biota dan ekosistem teluk, ditambah sejumlah jurnal riset yang ya membaca, Daniela meyakini, minyak dan sisa pembersihan entah melalui pembersihan kimia dan herbal, sedikit banyak hendak mengontaminasi rantai masakan.

Terlebih, uraian minyak, dari laporan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sudah mencemari 14 ribu hektare manggrove yang jadi kandang perkembangbiakan ikan dan satwa air lainya sebagai penyokong rantai masakan.

“Pastinya kelak sudah ada natural proses, sudah ada bakteri pengurai di ekosistem, kelak bakteri hendak dimakan plankton, plankton dimakan ikan, dan akhirnya setiap ekosistem rantai masakan hendak terpapar dari kimia dari minyak barusan,” ujarnya.

Masalah inilah yang ya khawatirkan hendak menurunkan metabolisme dan sistem kekebalan badan pesut, sebab memakai ikan yang tercemar.

“Sebab mereka top predator, mereka makan apa saja, ikan yang terpapar ya mereka pun makan, mereka tidak boleh keluarkan kandungan perut (tercemar yang mereka makan). Ini yang jadi kekhawatiran, anak mereka pun boleh kena” ujar Daniele.

Kedepannya, ya berharap dan hendak terus ikut terlibat mengawal cara pemulihan ekosistem teluk.

Ya berharap, cara sudah ada riset lanjutan soal dampak cemaran buat ekosistem dan keberlangsungan populasi yang sekarang diprediksi hanya 60-70 ekor ini.

“Mereka lambat reproduksi. Dan ini bencana, boleh akibatkan populasi kolaps,” katanya.

Let's block ads! (Why?)

Baca Di sini Bro http://www.infomenarik-terbaru.com/ahli-ungkap-bahaya-tumpahan-minyak-buat-dua-mamalia-laut-dilindungi/

Peneliti Ungkap Bahaya Tumpahan Minyak bagi Dua Mamalia Laut Dilindungi

Laporan Wartawan Tribunkaltim.co, Nalendro Priambodo

TRIBUNKALTIM.CO, BALIKPAPAN - Peneliti sekaligus Co-Founder Yayasan Rare Aquatic Spesies of Indonesia (RASI) Daniele Kreb, khawatir tumpahan minyak di Teluk Balikpapan akan merusak biota laut dan rantai makanan di sana.

Terlebih perairan itu jadi habitat dua mamalia laut yang dilindungi, yakni Dugong (Dugong Dugon) dan lumba-lumba atau Pesut Irrawaddy (Orcaella brevirostris).

Kekhawatiran, Daniele makin menguat, selang beberapa hari usai tragedi teluk Balikpapan, ia bersama beberapa peneliti RASI, langsung mengecek sejauh mana tumpahan minyak mentah itu menyebar di Teluk Balikpapan.

Hasilnya cukup mencengangkan, tumpahan minyak, yang salah satunya dipicu pasang surut air laut mencemari Padang lamun di periairan Kariangau.

Lamun, adalah tanaman yang hidup dilaut dan tidak memiliki klorofil. Lamun merupakan kompetitor bagi rumput laut, dan biasanya tumbuh di daerah dekat pantai. Lamun inilah yang menjadi makanan Dugong.

"Kami sudah cek positif terpapar minyak. Itu berarti minyak tidak hanya dipermukaan, tapi menembus kolom air," ujar Daniele dihubungi Sabtu (7/4/2018).

 

Baca juga:

Masih Ingat Arya Permana Si Bocah Obesitas Berbobot 193 Kilogram? Begini Kondisinya Sekarang

Statistik Mentereng, CR7 Sudah Cetak Gol di 45 Kota di Eropa

Tak Ada Uang Kembalian, Driver Ojol Ini Ikhlas Tak Dibayar, Mengapa Berujung Putus Kemitraan?

Jalani Prosesi Wisuda, Polah 2 Wisudawan Ini Malah Mengundang Tawa!

Kalau sudah begini, lanjut peneliti yang sudah puluhan tahun meneliti spesies akuitik langka di teluk Balikpapan ini, mamalia laut yang sering disebut warga lokal dengan sebutan sapi laut ini, bakal mencari lamun di tempat yang lebih jauh, semisal di sebuah pulau dekat Jenebora, Penajam Paser Utara, yang diprediksi bisa terpapar juga.

"Saya rasa mereka tidak mau makan, (lamun yang tercemar minyak), mereka cari makan di tempat lain, mereka akan melewati tempat kotor,"ujarnya.

Lanjut dia, dibutuhkan penelitian dan penanganan cepat untuk mengatasi kerusakan Padang lamun ini, guna menyelamatkan Dugong yang jumlahnya tinggal belasan ekor saja.

"Dogong ini reproduksinya lambat, 7 tahun sekali baru melahirkan, itupun hanya satu ekor (sekali melahirkan,"ujarnya.

Sementara itu, matinya Pesut Irrawaddy (Orcaella brevirostris), sepekan lalu di pantai Balikpapan, yang diduga terpapar tumpahan minyak mentah, bisa jadi pelajaran.

Mamalia laut endemik teluk Balikpapan yang oleh IUCN (The International Union for Conservation of Nature) dikategorikan endangered species ini, populasinya tersisa 60-70 ekor.

Berkaca dari observasi lamgsung cemaran minyak ke biota dan ekosistem teluk, ditambah beberapa jurnal penelitian yang ia baca, Daniela meyakini, minyak dan sisa pembersihan entah itu lewat pembersihan kimia dan alami, sedikit banyak akan mengontaminasi rantai makanan.

Terlebih, paparan minyak, dari laporan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, telah mencemari 14 ribu hektare manggrove yang jadi tempat perkembangbiakan ikan dan satwa air lainya sebagai penyokong rantai makanan.

"Memang nanti ada natural proses, ada bakteri pengurai di ekosistem, nanti bakteri akan dimakan plankton, plankton dimakan ikan, dan akhirnya semua ekosistem rantai makanan akan terpapar dari kimia dari minyak tadi," katanya.

Hal inilah yang ia khawatirkan akan menurunkan metabolisme dan sistem kekebalan tubuh pesut, karena mengonsumsi ikan yang tercemar.

"Karena mereka top predator, mereka makan apa saja, ikan yang terpapar ya mereka juga makan, mereka tak bisa keluarkan isi perut (tercemar yang mereka makan). Ini yang jadi kekhawatiran, anak mereka juga bisa kena" ujar Daniele.

Kedepannya, ia berharap dan akan terus terlibat mengawal upaya pemulihan ekosistem teluk.

Ia berharap, langkah ada penelitian lanjutan soal dampak cemaran bagi ekosistem dan keberlangsungan populasi yang kini diperkirakan hanya 60-70 ekor ini.

"Mereka lambat reproduksi. Dan ini bencana, bisa akibatkan populasi kolaps," ujarnya. (*)

Let's block ads! (Why?)

Baca Di sini Bro http://kaltim.tribunnews.com/2018/04/07/peneliti-ungkap-bahaya-tumpahan-minyak-bagi-dua-mamalia-laut-dilindungi

Ini Dampak Terparah Jika Pertamina Lambat Tangani Tumpahan Minyak

Pasalnya, pencemaran itu membuat ekosistem laut menjadi terganggu. Sebut saja plankton yang notabene merupakan bagian dari rantai makanan pada ikan di laut. Jika mereka mati, ikan akan kehilangan komponen terpentingnya untuk bertahan hidup.

"Wilayah (Teluk Balikpapan) itu ada pesut, lumba-lumba. Itu kan ekosistem yang terganggu, kayak plankton, kalau hilang kan bisa mati ikannya," kata Pengamalnya Ekosistem Esensial WALHI, Wahyu Perdana dalam sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu (7/4).

"Kalau itu (ikan) pergi keluar (wilayah), khususnya nelayan kecil pasti ekonominya ikut terganggu," tambahnya.

Di sisi lain, tercemarnya kondisi laut juga akan membuat minat wisatawan untuk berkunjung ke wilayah tersebut akan menurun. Pasalnya, pencemaran minyak cukup vital mempengaruhi sendi kehidupan.

"Kunjungan menurun, orang tidak main kesana lagi. Belum lagi ada keramba kepiting dan budidaya rumput laut," katanya.

Tentang siapa yang bertanggung jawab, dirinya tidak ingin menduga-duga. "Tapi yang jelas, yang punya ancaman serius terhadap lingkungan dia bertanggung jawab mutlak," tutupnya.

(hap/JPC)

Let's block ads! (Why?)

Baca Di sini Bro https://www.jawapos.com/read/2018/04/07/202452/ini-dampak-terparah-jika-pertamina-lambat-tangani-tumpahan-minyak